SEARCH AT GOOGLE

Custom Search

Selasa, 12 Agustus 2008

kasus gizi buruk pada anak balita yang meningkat akhir-akhir ini telah membangunkan pemegang kebijakan
untuk melihat lebih jelas bahwa anak balita sebagai sumber daya untuk masa depan ternyata mempunyai
masalah yang sangat besar. Berdasarkan angka human development index (HDI), Indonesia menduduki
peringkat ke 112 di dunia. Tidak tertutup kemungkinan peringkat ini akan bergeser ke posisi lebih rendah
(memburuk) apabila kondisi ini tidak ditangani secara cepat dan tepat.
Gizi Buruk Tidak Terjadi Tiba -tiba.
Kasus gizi buruk yang meningkat dan sangat ramai
dibicarakan sejak ditemukan di NTB, telah
membuka mata kita tentang masalah gizi anak
balita. Kenyataan di lapangan, setelah NTB, hampir
seluruh daerah di Indonesia segera melaporkan
adanya kasus gizi buruk di wilayahnya. Fenomena
ini kemungkinan berkaitan dengan pengalokasian
dana yang digulirkan oleh pemerintah (Pusat) untuk
penanggulangan kasus gizi buruk. Ironis memang.


Kontroversi seputar gizi buruk :
Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?
kasus gizi buruk pada anak balita yang meningkat akhir-akhir ini telah membangunkan pemegang kebijakan
untuk melihat lebih jelas bahwa anak balita sebagai sumber daya untuk masa depan ternyata mempunyai
masalah yang sangat besar. Berdasarkan angka human development index (HDI), Indonesia menduduki
peringkat ke 112 di dunia. Tidak tertutup kemungkinan peringkat ini akan bergeser ke posisi lebih rendah
(memburuk) apabila kondisi ini tidak ditangani secara cepat dan tepat.
Gizi Buruk Tidak Terjadi Tiba -tiba.
Kasus gizi buruk yang meningkat dan sangat ramai
dibicarakan sejak ditemukan di NTB, telah
membuka mata kita tentang masalah gizi anak
balita. Kenyataan di lapangan, setelah NTB, hampir
seluruh daerah di Indonesia segera melaporkan
adanya kasus gizi buruk di wilayahnya. Fenomena
ini kemungkinan berkaitan dengan pengalokasian
dana yang digulirkan oleh pemerintah (Pusat) untuk
penanggulangan kasus gizi buruk. Ironis memang.
Gizi buruk merupakan kejadian kronis dan bukan
kejadian yang tiba-tiba. Pertanyaan yang timbul
adalah di mana laporan hasil pemantauan status gizi
berada dan ke mana laporan tersebut dikirimkan
selama ini? Secara teknis, mestinya laporan tersebut
berada di Dinas Kesehatan (untuk Daerah) dan
Departemen Kesehatan (untuk Pusat). Secara teknis
pula, lembaga-lembaga tersebut bertanggungjawab
atas kajian data hasil pemantauan yang dilakukan
secara berkala mulai dari tingkat Puskesmas,
dengan Posyandu sebagai ujung tombak sumber
informasi. Demikian pula institusi rumah sakit,
merupakan unit pelayanan yang juga turut
berkontribusi atas tersedianya informasi kasus
tersebut karena berkaitan dengan fungsinya sebagai
pusat rujukan kasus.
Departemen Kesehatan telah menyelenggarakan
suatu pertemuan sosialisasi pencegahan dan
penanggulangan gizi buruk bagi pemegang
kebijakan di Batam 6-8 Oktober 2005 (Regional I)
dan di Yogyakarta 11-13 Oktober 2005 (Regional
II). Pada pertemuan yang dihadiri oleh para Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktur Rumah
Sakit Propinsi se-Indonesia tersebut telah dibahas
Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan
Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009, yang
menginformasikan 70% dari anggaran yang tersedia
akan di fokuskan pada promosi kesehatan (dalam
hal ini upaya promotif dan preventif), sementara
30% sisanya ditujukan untuk pelaksanaan kegiatan
operasional. Diantara agenda kegiatan dalam RAN
tersebut adalah pemberian makanan tambahan
berbasis makanan lokal, dan pelatihan kader.
Peran Posyandu
Lalu, bagaimana peran posyandu sesungguhnya? Jika
kita tanyakan kepada masyarakat tentang siapa yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan posyandu,
maka jawaban yang akan kita peroleh adalah Tenaga
Kesehatan.
Sejak awal, posyandu berperan sebagai pos terdepan
perpanjangan tangan Depkes dalam pemberikan
pelayanan kesehatan. Posyandu tidak membutuhkan
fasilitas dan biaya yang besar, bahkan dapat
dilakukan di rumah penduduk maupun tempat-tempat
pertemuan desa. Ini merupakan suatu modal dasar
yang sangat baik, yang sebaiknya disosialisasikan
kepada khalayak dan digunakan untuk mengubah
persepsi bahwa posyandu itu bukan milik kesehatan
melainkan milik masyarakat.
Kader adalah anggota masyarakat yang diberi
ketrampilan untuk menjalankan posyandu. Untuk
mencapai hasil yang optimal, pengetahuan kader
selalu harus diperbaharui dengan melakukan
penyegaran (refreshing), agar tercipta rasa percaya
diri dalam memberikan pelayanan. Dalam hal ini
peran masyarakat sangat penting, dengan melibatkan
organisasi yang ada termasuk Karang Taruna,
LKMD, dan PKK, dengan pertimbangan mempunyai
jaringan luas, untuk keberhasilan posyandu.
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Gizi
Pangan dan Kesehatan Universitas Hasanuddin,
Makassar, yang berkaitan dengan posyandu
menemukan kegiatan posyandu umumnya hanya
dilakukan oleh 2-3 orang kader. Kader tersebut pada
umumnya adalah ibu rumah tangga dan tidak bekerja.
Tentu saja, pada situasi ekonomi seperti saat ini,
angan-angan agar mereka datang secara sukarela
sangat sulit untuk dipertahankan. Dengan status
otonomi daerah, sudah saatnya pemda setempat
mulai memberikan perhatian pada bidang kesehatan
dengan menyediakan anggaran khusus agar
posyandu dapat berjalan baik.
Data lain berkaitan dengan posyandu pada
penelitian tersebut adalah :
Ø Penyuluhan yang diberikan sekitar 22%,
Ø Balita yang mempunyai Kartu Menuju Sehat
(KMS) 56%,
Ø Ibu balita yang mengerti pembacaan KMS
13%.
Hasil studi tersebut juga menunjukkan sebuah ironi,
yaitu masyarakat datang ke posyandu bila ada
PMT, sesudah itu menganggap tidak perlu datang
menimbang balitanya untuk melihat
pertumbuhannya. Sementara itu, kebanyakan para
pemegang kebijakan selalu mengatakan anak yang
baik pertumbuhannya adalah anak yang naik berat
badannya. Nah, bagaimana bisa diketahui kenaikan
berat badan anak bila mereka tidak datang ke
posyandu, apalagi tidak mengerti arti KMS?
Siapa yang Bertanggungjawab?
Penanganan balita gizi buruk di rumah sakit bukan
merupakan satu-satunya jalan keluar dalam
mencegah dan menangani kejadian gizi buruk ini.
Apakah ada jaminan anak yang sudah keluar dari
perawatan rumah sakit, tidak akan jatuh ke kondisi
gizi buruk lagi? Tentu saja tidak ada jaminan,
kecuali ketersediaan pangan di rumah tangga
cukup, dan pengetahuan orang tua tentang masalah
gizi memadai. Untuk adanya jaminan tersebut
sudah jelas ada sektor non-kesehatan yang
bertanggungjawab.
Sekarang sudah saatnya masalah gizi anak balita ini
ditangani dengan lebih terintegrasi, melibatkan
unsur masyarakat dan organisasi setempat, dengan
meningkatkan kesadaran pentingnya penimbangan
bulanan untuk mendeteksi kemungkinan adanya
gangguan pertumbuhan yang akan menjadi tanda
awal terjadinya masalah gizi. Bila hal ini dapat
dilasanakan dengan baik, maka gangguan
pertumbuhan dapat diatasi lebih dini dan masalah gizi
buruk tidak akan muncul. Harus disadari bahwa anak
balita merupakan calon generasi penerus bangsa,
yang akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa di
masa depan.
Bila kita kaji dari hasil temuan kas us lalu dikaitkan
dengan sebab-akibat timbulnya masalah gizi buruk,
kejadian masalah gizi buruk bukan semata-mata
tanggung jawab Departemen Kesehatan atau Dinas
Kesehatan di daerah. Masalah ini jelas disebabkan
oleh berbagai faktor yang pada akhirnya mengerucut
sehingga si anak tidak mendapat asupan gizi yang
cukup selama kurun waktu yang lama. Mungkin
karena ketiadaan pangan di rumah tangga, yang
apabila dikaji penyebabnya akan sangat banyak dan
tidak berkaitan dengan sektor kesehatan. Atau
mungkin karena kelalaian orangtua dalam
pengasuhan bayi dan anak balita, sehingga asupan
gizi untuk anak tidak terawasi dengan baik, sehingga
timbul masalah gizi buruk.
Oleh karenanya, penanggulangan masalah gizi pada
umumnya dan masalah gizi buruk khususnya,
merupakan tanggung jawab bersama yang melibatkan
banyak sektor yang terkait dengan segi pelayanan
kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya,
maupun pertanian yang menyangkut ketersediaan
pangan di tingkat rumah tangga. Sudah tentu
pemerintah (Pusat maupun Daerah) bertanggung
jawab secara keseluruhan dalam upaya menyiapkan
seluruh sumberdaya yang ada, baik berupa
sumberdaya alam, manusia, maupun biaya yang
dapat menanggulangi masalah tersebut lebih dini.
Pengerahan sumberdaya sektor kesehatan saja, hanya
akan menjadikan upaya penanggulangan masalah
seperti pemadam kebakaran, bukan mempersiapkan
agar tidak terjadi kebakaran. (emanz/gizi.net)
–— –— –— –— –— –—

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Lunatic © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO